Baru-baru ini jagad e-commerce Indonesia kembali tersandung masalah keamanan. Platform E-commerce, Tokopedia, diserang oleh peretas tak dikenal. Ada 91 juta data pengguna diduga telah dicuri oleh peretas tersebut. Laporan kebocoran ini sebelumnya dicuitkan oleh akun twitter @underthebreach, yang mengumumkan pertama kali adanya peretasan di situs jual-beli nomor satu di Indonesia tersebut. Dikabarkan pula data pengguna itu sudah diperjualbelikan pada situs gelap (dark web).
Sebelumnya, kasus peretasan juga pernah menimpa platform e-commerce lain yakni Bukalapak pada tahun 2017. Baik Bukalapak maupun Tokopedia sama-sama mengalami ‘kecolongan’ terkait data pengguna berupa nomor handphone, alamat email, serta password akun pengguna. Meskipun, tidak ada keluhan atau penyalahgunaan langsung data pengguna pada situs tersebut, namun hal ini menjadi tanda tanya besar, bagaimana keamanan e-commerce di kemudian hari.
Jika melihat masalah ini, tentu banyak orang akan mempertanyakan bagaimana sistem keamanan yang ada pada dua layanan e-commerce raksasa tersebut. Apakah e-commerce masih aman sebagai tempat jual-beli? Menurut seorang pakar keamanan internet, Alfons Tanujaya, menyatakan bahwa keberadaan e-commerce tetap dibutuhkan masyarakat sebagai ruang transaksi yang aman. Ada beberapa hal yang bisa meyakinkan kalau proses jual-beli tetap bisa dilakukan dengan nyaman tanpa saling merugikan.
Menurutnya, ada pihak ketiga yang menjadi ‘wasit’ jika bertransaksi dengan e-commerce. ‘Wasit’ tersebut akan mengawasi proses jual-beli hingga selesai. Wasit disini yang dimaksud adalah platform e-commerce itu sendiri. Hal ini berbeda dengan bertransaksi lewat media sosial.
“Jadi kalau kita lagi apes, (penjual) kabur ya kabur, kita nggak bisa apa-apa,” ujar Alfons seperti dikutip dari detik.com, Rabu (6/5).
Lanjut Alfons, sosial media juga memiliki resiko lebih tinggi soal keamanan data. Sebab, data akan sepenuhnya diserahkan kepada media sosial tanpa perlindungan. Selain itu, media sosial juga tidak memiliki kontrol terhadap penjual atau seller. Lain halnya dengan e-commerce, yang terdapat sistem untuk meminimalisir terjadinya kecurangan. Mereka dapat mengawasi dan mengambil tindakan bila terjadi kecurangan baik yang dilakukan oleh penjual maupun pembeli.
Dia mengilustrasikan, apabila penjual tidak mengirim barang yang sudah dibayarkan oleh pembeli, maka ada ‘wasit’ atau pihak e-commerce tersebut yang mengambil tindakan. Di sini, pihak e-commerce juga tidak membela pihak siapapun bila terjadi masalah selama semua dapat menunjukkan bukti yang kuat.
Ia menambahkan, media sosial tetap bisa dijadikan sarana jual-beli online. Namun, ia menyarankan supaya menjadikan media sosial sebagai alternatif untuk tempat jual-beli.
“Yang beli benar nggak kirim duit? Nah dia harus belain yang benar. Bukan belain penjual, bukan belain pembeli. Itu yang kita perlukan sebenarnya,” jelasnya.
Aksi pencurian data memang bukan kali ini saja, tetapi sudah pernah terjadi beberapa tahun yang lalu semenjak e-commerce mulai naik dan dikenal sebagai platform jual-beli online. Di sisi lain, Alfons menduga ada ‘permainan’ dibalik peretasan Tokopedia kemarin. Bersamaan dengan kabar peretasan Tokopedia, turut muncul pula kabar peretasan Bukalapak. Padahal, kasus Bukalapak terjadi di tahun 2017. Meski begitu, ia masih perlu menganalisa lebih jauh, sebab belum ada bukti kuat untuk menunjukkan adanya ‘permainan’ di balik peretasan ini.
Lebih dari itu, dia juga mengkhawatirkan ada pihak-pihak yang sengaja ingin membuat citra e-commerce Indonesia jelek di mata dunia. Maka sebaliknya, kasus ini bisa memutar balikan persepsi masyarakat yang akan menganggap e-commerce asing yang ada di Indonesia jauh lebih baik.
“Jadi itu yang perlu kita hindari. Saya takut narasinya ada yang mengarahkan ke sana,” tandasnya.